Kostum
nomor 23 dan bertuliskan 'Beckham' yang dikenakannya sedikit kebesaran.
Namun, Andik Vermansyah tetap terlihat sumringah mengenakannya sambil
menimang-nimang bola di atas jalanan yang belum beraspal.
Tiga
hari setelah laga Timnas Indonesia Selection melawan Los Angeles Galaxy
di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Andik membuktikan pernyataannya.
Ya, setelah berhasil bertukar kostum dengan ikon sepakbola dunia, David
Beckham, hingga kini kostum mantan pemain Real Madrid dan Manchester
United itu belum dicucinya.
"Sampai
hari ini, kaos Beckham belum dan tidak akan saya cuci. Saya sedang cari
pigura untuk kenang-kenangan nanti," ujar Andik saat
ditemuiVIVAnews.com di rumahnya Jl Kalijudan Taruna II no 90, Surabaya,
Sabtu 3 Desember 2011.
Nama
Andik di persepakbolaan dalam negeri memang semakin melesat usai laga
melawan LA Galaxy. Selain tampil apik sepanjang pertandingan, Andik
semakin dikenal masyarakat Indonesia setelah sukses bertukar kostum
dengan Beckham.
Bahkan
gelandang asal Inggris itu sendiri yang meminta bertukar kostum dengan
Andik. Hal itu dilakukan Beckham sebagai permintaan maaf atas tekel yang
dilakukannya terhadap Andik. Namun, Beckham juga mengakui penampilan
impresif Andik.
Perjuangan
Andik untuk menjadi pesepakbola profesional tidaklah mudah. Ambisi
gelandang serang yang lahir di Jember 20 tahun silam untuk berkarir di
sepakbola sempat mendapat tentangan dari orang tuanya, terutama dari
ibundanya, Jumiyah. Bahkan Jumiyah kerap mencubit Andik jika terlalu
asyik dengan sepakbola di masa kecil.
"Ada
perasaan khawatir Andik main bola. Apalagi tubuhnya kecil. Sempat saat
kelas 4 SD seingat saya, dia bolos setahun nggak mau sekolah karena
ingin main bola. Namanya orang tua, saya jelas marah," terang Jumiyah.
Melihat
tekad dan ambisi sang anak, hati Jumiyah pun luluh. Kehidupan ekonomi
yang sulit tidak menyurutkan Jumiyah dan suaminya, Saman, untuk
mendukung ambisi Andik berkarir di dunia sepakbola.
Bahkan
keduanya harus kerja keras untuk bisa membelikan pemain Persebaya
tersebut sebuah sepatu sepakbola. Maklum penghasilan Saman dari
pekerjaannya sebagai tukang batu dan Jumiyah sebagai karyawan pabrik,
tidaklah cukup untuk membeli sepatu sepakbola. Jumiyah akhirnya mencari
penghasilan tambahan dari berjualan kue, koran dan es.
"Terkumpul
Rp 25 ribu. Saya sendiri yang ngantar ke Gembong (pasar barang-barang
bekas di kawasan tengah kota Surabaya). Sempat cemas karena tidak ada
uang lebih, kebetulan harganya juga pas dengan uang yang kami bawa.
Bolak-balik saya tawar, penjualnya tidak mau turunkan harga," papar
Jumiyah.
Saking
senangnya, tambah Jumiyah, sepatu itu tidak dilepas dan terus dipakai
saat tidur. Tak disangka, sepatu buatan lokal itu membawa Andik terbang
tinggi.
Sebagai
anak bungsu dari empat bersaudara, Andik memang mendapat perhatian
lebih dari orang tuanya. Terutama dari ibundanya. Apalagi sejak 1 tahun,
keluarga kecil ini ke Surabaya. Lengketnya hubungan ibu dan anak itu
terlihat ketika Jumiyah harus bekerja membantu ekonomi Saman.
"Saya
waktu itu kerja di pabrik. Andik tetap saya bawa kerja karena tidak ada
yang ngawasi di rumah. Kalau tidur, saya taruh di bawah mesin," kenang
Jumiyah.
Tak
hanya itu, ekonomi yang pas-pasan membuat keluarga Andik empat kali
pindah kontrakan. Dan itu berakhir setelah Andik mampu membelikan rumah
di Jl Kalijudan Taruna II no 90. Rumah mungil bercat kuning itu
nampaknya bakal jadi muara kehidupan pasangan Saman-Jumiyah di Surabaya.
Kini
dengan terangkatnya ekonomi keluarga seiring meningkatnya karir Andik,
baik Jumiyah dan Saman berharap tidak terlena gemerlapnya kehidupan.
Mereka pun sudah ikhlas jika Andik ingin meneruskan karir ke Eropa.
"Sekarang
sudah dewasa, kalau memang sesuai dengan keinginannya kami tentu akan
mendukung. Sebenarnya dua tahun lalu sudah ditawari main di Eropa. Saya
nggak tahu klub mana, tapi saya sarankan pada Andik untuk tidak menjawab
tawaran itu. Usianya masih muda, kasihan kalau jauh dari keluarga,"
ucap Saman.
Sukses
Andik sebagai pesepakbola juga tak lepas dari perhatian kakak
ketiganya, Agus Dwi Cahyono. Selisih usia yang hanya tiga tahun, membuat
hubungan keluarga itu ibarat pertemanan.
Adalah
Agus yang mendorong Andik keluar dari SSB Dwikora dan pindah ke
Kedawung Setia Indonesia (KSI). Di klub barunya, Andik mulai merasakan
atmosfir kompetisi. Beberapa kali dirinya jadi pilihan utama saat main
di sebuah turnamen.
"Mas Agus yang selalu mendorong saya. Termasuk pilihan-pilihan yang ditawarkan manajemen Persebaya," tegas Andik.
0 komentar:
Posting Komentar